Siapa yang patut kita kasihi? Seberapa besar dan bagaimana kita harus mengasihi mereka? Pertanyaan ini terdengar sepele, mudah saja untuk dijawab. Rasa-rasanya tidaklah sulit untuk menentukan siapa saja yang pantas memperoleh rasa kasih kita, pun dengan seberapa besar rasa kasih yang mesti kita berikan kepada mereka. Tetapi, benarkah demikian? Novel The God of Small Things karya Arundhati Roy menunjukkan bahwa mengasihi seseorang sejatinya melibatkan naluri yang lebih rumit, pelik, dan kerap kali, keji.
Berlatarkan Ayemenem di negara bagian Kerala, India, karya fiksi pemenang penghargaan Booker Prize 1997 ini menggambarkan―secara mendetail dan memilukan―kebobrokan diri manusia melalui kebobrokan keluarga mereka secara perlahan-lahan dan takterhindarkan. Dari luar, tampak bahwa kebobrokan keluarga ini diakibatkan oleh “perbuatan buruk” serta “kesalahan” orang-orang di keluarga tersebut; tetapi jauh lebih dalam dari itu, kebobrokan ini nyatanya telah datang menghampiri pada saat mereka mulai memilih siapa-siapa saja yang patut mereka kasihi, berdasarkan apa yang disebut Hukum Kasih.
Akibat dari “perbuatan buruk dan kesalahan” yang diperbuat anggota keluarga Kochamma telah tertampang jelas sejak awal cerita―ketika kematian Sophie Mol, sepupu Rahel dan saudara kembar laki-lakinya Estha, tidak hanya membuat mereka berdua dipisahkan (Estha “dipulangkan” ke ayahnya di Calcutta, sedangkan Rahel tetap di Ayemenem bersama paman dan neneknya) tetapi juga membuat mereka dipisahkan dari ibu mereka, Ammu. Sementara Rahel dan Estha mesti menderita trauma hingga dewasa, Ammu terkatung-katung dalam kemiskinan dan mati dalam kesepian setelah diusir dari rumah keluarga mereka―selain karena dianggap bertanggung jawab atas “kesalahan” anak-anaknya, ia juga dianggap telah mencoreng nama baik keluarga dengan menjalin hubungan dengan tukang kayu mereka, Velutha.
Hubungan cinta rahasia antara Ammu dan Velutha tidak hanya berujung pada kematian Sophie Mol, namun juga sendirinya merupakan perbuatan yang (dianggap) sangat salah menurut Hukum Kasih. Velutha berasal dari kasta paria, dari kelas buruh, berpendidikan rendah, dan seorang anggota partai komunis―yang tentunya bertentangan dengan status konglomerat keluarga Kochamma.
Menjalin cinta dengan seorang tukang kayu dari kasta terendah bukanlah satu-satunya “kesalahan” Ammu; di mata keluarganya ia tak lain seorang pembawa masalah: menikah tanpa izin dengan pria dari agama lain, bercerai, lalu membawa sepasang anak kembarnya kembali ke rumah orangtua. Anak-anaknya pun dianggap beban dan anak nakal oleh bibinya, Baby Kochamma. Sementara itu, “kesalahan-kesalahan” yang dilakukan oleh Chacko, kakak laki-lakinya, tidak pernah dihitung―mulai dari menghamburkan uang ibunya sewaktu masih kuliah di Oxford, menikah tanpa memberi tahu keluarga dengan gadis asing, bercerai, lalu kembali ke rumah orangtua dengan tangan hampa, sampai meniduri buruh-buruh perempuan di pabrik makanan awetan mereka―tidak satu pun yang dihitung dan dipermasalahkan oleh ibu maupun bibinya. Semuanya dimaafkan dan bagai angin lalu saja.
Apa yang dianggap salah dan tidak salah dapat dirunut ke apakah orang yang melakukannya adalah mereka yang memperoleh rasa kasih atau bukan; dan siapa yang berhak memperoleh kasih dan siapa yang tidak ditentukan―secara sadar tidak sadar, dan ini sudah mendarah daging―oleh banyak faktor diskriminatif: gender, kasta, agama, status, kelas, seksualitas. Dalam kasus Ammu, lantaran ia seorang perempuan, ayahnya melarangnya kuliah (untuk apa sekolah tinggi-tinggi?) dan inilah alasan mengapa kemudian Ammu memberontak dengan menikahi pria pertama yang mendekatinya. Lantas, setelah menyadari ia menikah dengan orang yang salah, Ammu menuntut cerai. Status cerainya pun dianggap aib sebab ia (lagi-lagi) seorang perempuan, tidak seperti status cerai kakak laki-lakinya yang dianggap biasa saja. Apa yang dilakukan Ammu dianggap salah, sedangkan apa yang dilakukan Chacko tidak.
Kasta dan kelas juga secara mendasar menentukan apakah seseorang pantas dikasihi atau tidak. Dikasihani, mungkin―jika dilihat dari perbuatan ayah Mammachi yang memberikan tanah kepada ayah Velutha dan menyekolahkan Velutha semasa dia masih kecil―tetapi dikasihi? Ini sama sekali tidak terlihat ketika hubungan gelap Velutha dan Ammu terbongkar: Velutha dan ayahnya diperlakukan dengan begitu hina sebelum akhirnya Velutha dipecat. Dan penderitaan Velutha menjadi berlipat ganda lantaran kelasnya―faktor yang berkelindan erat dengan status kastanya dan menjadikannya makhluk terendah di antara yang terendah. Sayangnya, paham komunisme yang dipegang masyarakat Kerala tidak membuat semua manusia “sama rata”, dan agama Kristen Syria anutan mereka yang mengajarkan cinta kasih kepada sesama tidak serta-merta menghapuskan sistem kasta. Bagi mereka, Velutha adalah seseorang yang “tidak pantas dikasihi”, tetapi hanya “pantas dianiaya sampai mati”.
Di luar itu semua, ras dan kebangsaan merupakan faktor penentu yang paling kejam apakah seseorang pantas atau tidak untuk kita kasihi. Sudah menjadi hal yang umum (dan, sialnya, dimaklumi) bahwa kita selalu memandang bangsa kulit putih lebih tinggi: budaya mereka, bahasa mereka, warna kulit mereka. Sophie Mol, perwujudan dari bangsa kulit putih yang dijunjung tinggi di sini, memperoleh rasa kasih yang berlebih dari neneknya (Mammachi) dan adik kakeknya (Baby Kochamma); jauh melebihi rasa kasih yang diterima Rahel dan Estha, walaupun mereka sama-sama anak hasil perceraian dan pernikahan yang tidak direstui orangtua. Rahel dan Estha bahkan diperintahkan agar bersandiwara dan bernyanyi dalam bahasa Inggris dengan baik demi menyambut kedatangan Sophie Mol, sebelum gadis cilik itu meninggal dunia gara-gara mengikuti mereka.
Tindakan pilih kasih ini juga bisa dilakukan oleh korban sendiri, yang karakternya juga mengalami “kebobrokan” (lantaran pernah diperlakukan demikian, kemudian mungkin tanpa sadar juga memperlakukan orang lain demikian): Ammu dan Mammachi adalah yang secara mencolok dicontohkan dalam novel ini. Mammachi, sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya sendiri (Pappachi) memilih dan memilah siapa yang berhak memperoleh kasih berlebih darinya: dalam hal ini adalah anak laki-lakinya, Chacko. Selain karena Chacko adalah anak laki-laki, pemilihan yang terkasih ini dilandasi oleh tindakan Chacko yang seharusnya dianggap wajar sebagai seorang anak: membela dan melindungi ibunya dari kekerasan yang dilakukan sang ayah. Tetapi Mammachi menganggap tindakan Chacko ini “istimewa” sehingga mengasihi (dan memanjakan) Chacko melebihi terhadap Ammu. Mammachi bahkan menoleransi, membiarkan, dan “mengatur” kebiasaan Chacko yang gemar meniduri buruh-buruh perempuan di pabrik awetan mereka.
Ammu juga tak luput dari kebobrokan ini, walau faktor yang mendasari tindakannya lebih “sepele”: Estha lebih pendiam dan penurut, sedangkan Rahel lebih keras kepala dan pemberontak. Estha, tentu saja, mendapat rasa kasih ibu lebih dari yang didapatkan Rahel (walaupun mereka saudara kembar).
Sadar atau tidak sadar, berdasarkan faktor apa pun, besar atau kecil faktor tersebut, kita akan selalu memilih kasih dan mengecilkan mereka yang “tidak pantas” menerimanya. Pilih kasih ini pun bertingkat-tingkat sifatnya, bak piramida. Orang yang paling tidak pantas menerima kasih kita akan duduk di tingkat paling bawah, menjadi yang “mahakecil”―yang dalam novel ini direpresentasikan oleh Velutha: ia memang seorang lelaki, tetapi ia “hanyalah” seorang tukang kayu berpendidikan rendah dari golongan kasta paling rendah yang tidak akan pernah beranjak dari tempatnya yang terendah.
Ammu berada sedikit di atas Velutha. Perlakuan diskriminatif yang diterima Ammu pada dasarnya lantaran ia seorang perempuan, dan semakin buruk lantaran ia seorang perempuan yang ingin lepas dari batasan-batasan tradisi keluarga, agama, kasta, dan aturan masyarakat. Ammu seorang perempuan yang nekat, pemberontak, yang akhirnya menyerah pada gairah hatinya sebab ia tidak tahan lagi dengan keterkungkungan hidupnya, sebab ia ingin bahagia, sebelum tutup usia―yang ia tidak tahu kapan.
Mengapa posisi Ammu masih bisa berada di atas Velutha? Sebab ada kaum perempuan yang nasibnya jauh lebih mengenaskan: para buruh pabrik awetan. Buruh-buruh perempuan ini duduk di tingkat terbawah bersama Velutha: kasta dan kelas mereka memperburuk keadaan mereka sebagai perempuan. Sebagai buruh―dan dengan jenjang kasta lebih rendah―mereka harus “terima-terima saja” ketika Chacko melecehkan mereka satu per satu, lalu diberi bayaran seperti wanita penghibur. Mereka juga tidak dapat berbuat apa-apa, angkat bicara pun tidak, jika tidak mereka pasti akan kehilangan pekerjaan yang sangat mereka butuhkan.
The God of Small Things menggambarkan segala naluri pelik dan keji serta perlakuan-perlakuan diskriminatif ini dengan amat rumit namun apik. Arundhati Roy, dengan gaya berceritanya yang penuh lika-liku, sarat metafor dan humor (yang lucu tapi menyakitkan, menyakitkan tapi lucu), tidak menutup-nutupi inti cerita sedari awal; namun seiring majunya narasi, semakin banyak detail yang terlihat, semakin terkuak setiap karakter yang tampak (apa yang melandasi kebobrokan mereka, apa yang menjadi masa lalu mereka). Roy tidak menuliskan mereka sebagai orang-orang yang sepenuhnya baik atau buruk, sepenuhnya benar atau salah; ia menggambarkan mereka sebagai manusia apa adanya, yang memilih apa yang mereka anggap baik, nyaman, tepat dan terhormat bagi mereka meskipun itu berarti mendiskriminasi, menyakiti, dan merugikan orang lain (dan tentu saja mereka tidak peduli sama sekali).
Sifat dan sikap mereka inilah yang kemudian membentuk pola masyarakat, yang menciptakan jenjang bertingkat-tingkat. Pola dan jenjang ini kemudian diturunkan dari generasi ke generasi, diterapkan pada satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat yang lain. Pola dan jenjang ini tidak pernah musnah lantaran ada sistem hukum: mereka yang melanggar akan disingkirkan, tak peduli jika itu adalah anggota keluarga mereka sendiri. Pola dan jenjang yang mengakari diskriminasi ini lantas menjadi bibit penyakit yang tidak akan pernah sembuh sampai kapan pun, selama manusia masih memilih dan memilah siapa yang layak dan tidak layak mereka kasihi.
Sebagai sebuah karya, The God of Small Things sungguh luar biasa, baik dalam menceritakan suatu kisah secara mendetail, mendalam, mengharukan serta membuka mata, pun dalam menggambarkan tokoh-tokohnya secara manusiawi namun keji―sesuatu yang sesungguhnya, dan sayangnya, tidak bisa kita hindari.
Rating: 4.5/5